MAU BIKIN PASANGANMU KLEPEK-KLEPEK?

Seksual Suami Istri Dari Sudut Pandang Agama

 Seksual Suami Istri Dari Sudut Pandang Agama

Seksual suami istri dari sudut pandang agama - Hubungan seksual memiliki aturan-aturan tertentu agar tidak merugikan istri maupun suami. Rumusan masalah bagaimana hubungan seksual suami istri dalam pandangan agama, sosiologi, dan psikologi? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seksual suami istri dalam pandangan agama, sosiologi, dan psikologi, serta bagaimana hak dan kewajiban relasi seksual antara pria dan wanita dalam pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan atau kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif, sosiologis, dan psikologis.

Hasil dari penelitian ini adalah Islam mengatur hubungan seksual antara suami dan istri. Dalam surah al-Baqarah (2): 223 dinyatakan bahwa istri adalah ladang yang digarap oleh suaminya. Suami diberikan kebebasan mengenai bagaimana dan kapan melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Hubungan seksual adalah bentuk aktivitas manusia yang secara alamiah sudah tertanam sejak lahir.

Secara alamiah, segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan. Dilihat dari sosiologis, suami dan istri dalam berhubungan badan menjadi partner biologis dalam kehidupan berumahtangga. Manusia tidak dapat menafikan aktivitas reproduksi sebagai salah satu kebutuhan biologisnya. Dalam hal ini, Allah swt. telah menganugerahkan kenikmatan agar manusia (suami dan istri) bersenang-senang melakukannya sehingga dapat meneruskannya dan memelihara generasi umat di muka bumi ini.

Sementara itu dari sisi psikologis setiap pasangan, terutama suami, berusaha membahagiakan pasangannya dalam melakukan hubungan seksual, terutama dalam mencapai kepuasan seksual istri. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mencapai kepuasan seksual istri adalah dengan menjalin komunikasi yang terbuka dan mendalam antara suami dan istri. Jadi, hubungan yang harmonis antara suami dan istri dapat mempengaruhi kesehatan perilaku seksual pasangan dan sebaliknya, kesehatan perilaku seksual suami istri dapat mempengaruhi keharmonisan hubungan mereka.

Pemenuhan seksual sebagai salah satu bentuk nafkah lahir batin yang menjadi hak suami istri dapat menciptakan perasaan bahagia dalam rangka mewujudkan tujuan pernikahan, yaitu sakinah, mawaddah, warahmah.


Kesimpulan

Hubungan seksual juga harus dilandasi oleh kebutuhan bersama, dimana dalam konteksnya suami dilarang melakukan diskriminasi, karena hubungan seksual merupakan hak antara suami dan istri. Dalam perspektif normatif, Al-Qur'an sendiri menjalankan persoalan seksual ini dengan gambaran yang sangat menarik, bahwa suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian suami dalam QS. Al-Baqarah ayat 187.

Dari fenomena sosial, budaya menginginkan wanita lebih tertutup daripada pria saat berhubungan badan. Sehingga wanita tidak memperhatikan hak kesehatan reproduksinya dan hubungan seksual dilakukan sebagai kewajiban. Sedangkan dalam perspektif psikologis seksualitas berkaitan dengan banyak hal karena mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap sosial, serta terkait erat dengan perilaku dan orientasi seksual yang terbentuk dalam masyarakat di mana seseorang berada.

Kepuasan seksual dalam sebuah pernikahan dapat diperoleh jika ada komunikasi yang mendalam dan terbuka antara keduanya tentang kebutuhan seksualnya.Apa dan bagaimana yang harus dilaksanakan oleh pasangan suami istri agar nantinya kebutuhan seksualnya dapat terpenuhi dan dapat memuaskan kedua belah pihak.


Pendahuluan

Nafsu terhadap lawan jenis merupakan anugerah Allah dalam kehidupan manusia selain itu, nafsu juga dapat menyebabkan menurunnya kualitas keimanan seorang hamba kepada Tuhannya Islam menghadirkan pernikahan sebagai solusi tengah. Oleh karena itu, syahwat dipandang sebagai anugerah sekaligus ibadah yang penyalurannya dengan pernikahan. Meskipun, realita di Indonesia masih terlalu jauh dari cita-cita normatif Islam. Hubungan seksual merupakan aktivitas seksual yang tidak hanya melibatkan satu pelaku saja, namun juga melibatkan pihak lain sebagai partner.

Hubungan seksual memiliki aturan-aturan tertentu agar tidak merugikan salah satu pihak. Kebanyakan orang beranggapan bahwa hubungan seksual selalu syarat dengan kenikmatan. Sebagai pasangan, hubungan seksual sejatinya dilakukan atas dasar saling membutuhkan dan suka sama suka sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar hubungan seksual dilakukan karena nafsu. Sangat sedikit hubungan seksual yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan anak.

Hanya mereka yang belum memiliki anak atau memiliki sedikit anak yang melakukan hubungan seksual karena ingin memiliki anak. Berbicara tentang seksualitas dan relasi gender dalam Islam, ada kesan bahwa 'agama' seolah-olah tidak memberikan hak-hak kepada perempuan sebagai makhluk yang mandiri, atau berstatus setara dengan laki-laki. Dalam membahas seksualitas dalam hubungan suami istri, banyak penelitian yang telah dilakukan.

Diantaranya adalah penelitian Zuhdi Rifa'i yang membahas tentang etika berhubungan intim, seorang suami bebas melakukan apa saja yang diinginkannya ketika berhubungan intim, namun dengan batasan-batasan yang mengedepankan kemaslahatan. Penelitian mengenai seksualitas dalam Islam juga pernah dilakukan oleh Ainaul Mardhiyyah.1 Selanjutnya, pembahasan mengenai hak dan kewajiban seksual suami istri dalam pemikiran Imam Al Nawawi dan Musdah Mulia.

Meskipun hubungan seksual yang baik dan benar telah diatur, namun masih banyak suami istri yang melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang menyimpang dan tidak pantas seperti BDSM. BDSM sendiri adalah Bondage and Discipline, Sadism and Masochism. Dalam arti sepenuhnya, BDSM adalah ketertarikan pada aktivitas intim atau fantasi intim yang berhadapan dan melibatkan penyiksaan, pukulan, pengikatan dengan tali dan penggunaan alat perangsang intim dalam hubungan seksual. Hubungan seksual semacam ini sedikit berbeda dengan hubungan seksual berpasangan (senggama) yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang.

Hal ini terjadi karena dorongan biologis yang tidak terkontrol dengan baik, yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan penerapan ajaran agama yang benar, dan perilaku menyimpang ini bertentangan dengan fitrah kemanusiaan yang diberikan dan diciptakan oleh Tuhan. Sementara perlu digarisbawahi bahwa BDSM adalah hubungan seksual yang dikehendaki oleh masing-masing pasangan dalam artian apabila kedua belah pihak melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka maka keduanya bisa terpuaskan.

Masalah kepuasan seksual tidak dapat diabaikan. Hubungan fisik yang baik dapat membawa manfaat, tetapi jika tidak berjalan dengan baik, dapat menyebabkan hubungan yang tidak harmonis. Ketidaknyamanan dan ketidakpuasan dalam hubungan seksual pasangan suami istri dapat memperburuk hubungan tersebut. Oleh karena itu, baik suami maupun istri perlu memahami etika dan moralitas hubungan seksual.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka menarik untuk dilakukan kajian yang serius dalam Hubungan seksual yang buruk dapat menjadi masalah serius bagi pasangan suami istri yang mungkin akan membuat mereka marah atau bahkan mencari jalan keluarnya. Padahal hubungan seksual yang menyenangkan dapat memberikan dampak positif bagi pernikahan. Sehingga dampak dari hubungan seksual sangat erat kaitannya dengan faktor psikologis dan faktor sosial dalam masyarakat. Fokus masalah Bagaimana Hubungan Seksual Suami Istri dalam Perspektif Normatif, Psikologis dan Sosiologis? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap rasa keadilan dalam hubungan seksual antara suami dan istri agar tidak terjadi dampak negatif dalam keluarga.


Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan atau metode kualitatif yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum yaitu menganalisis dalil-dalil dan metode penetapan hukum yang digunakan baik dari Al-Qur'an, hadist, psikologis maupun sosiologis yang digunakan dengan pendekatan penelitian kualitatif yaitu sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis.


Hasil dan Pembahasan

Hubungan seksual merupakan aktivitas seksual yang tidak hanya melibatkan satu orang saja tetapi juga melibatkan pihak lain sebagai pasangannya. Hubungan seksual memiliki aturan-aturan tertentu agar tidak merugikan pihak istri maupun suami. Karena sejatinya hubungan seksual dilakukan atas dasar saling membutuhkan dan suka sama suka sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.

Seks tidak hanya dipahami sebagai hubungan seksual saja. Seks merupakan ekspresi keintiman atau ekspresi cinta yang tinggi karena menyatukan fisik dan emosi secara total. Dalam kehidupan sehari-hari, definisi seks sering kali hanya merujuk pada aktivitas biologis yang berkaitan dengan alat kelamin atau genetalia. Padahal, makna seks sebagai jenis kelamin sendiri mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap seseorang yang berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksualnya.

Sementara itu, seksualitas secara denotatif memiliki makna yang lebih luas karena mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan seks, seperti nilai, sikap, orientasi, dan perilaku. Setelah dianalisa, seksualitas dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi dimensi biologis, psikologis, sosial, perilaku, klinis, dan budaya. Banyak yang menerima bahwa seks adalah tanggung jawab pria. Pria harus selalu mengambil inisiatif dalam hubungan seksual. Dalam hubungan seksual, selalu ditanggapi bahwa pria adalah raja, sedangkan wanita adalah pelayan yang pasif. Akibatnya, timbul kesan bahwa tidak ada hak bagi perempuan, sehingga tidak ada keberanian untuk mengungkapkan hasrat seksual kepada suaminya sendiri.

Uraian di atas menunjukkan kalau budaya atau tradisi kalu seorang istri hanya untuk menerima dan melayani kemauan dan hasrat suami untuk melakukan berhubungan badan. Lebih parah lagi adalah adanya keyakinan yang melekat bahwa Islam mengajarkan bahwa perempuan wajib melayani kebutuhan seksual suami kapanpun dan dimanapun tanpa harus memikirkan kesehatan dan kenyamanan dirinya sendiri. Ini adalah salah satu contoh pemahaman yang tidak adil terhadap teks-teks agama dan juga mengarah pada ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran agama itu sendiri.

Dalam kalimat yang sangat singkat, Al-Qur'an menekankan bahwa pasangan suami istri harus saling melindungi, menjaga kehormatan, memberikan kenyamanan, keindahan, dan kenikmatan satu sama lain, termasuk dalam hal hubungan seksual.

Ini adalah salah satu contoh pemahaman yang tidak adil terhadap teks-teks agama dan juga mengarah pada ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran agama itu sendiri. Dalam ungkapan yang sangat singkat, Al-Qur'an menegaskan bahwa pasangan suami istri harus saling melindungi, menjaga kehormatan, memberikan kenyamanan, keindahan, dan kenikmatan satu sama lain, termasuk dalam hal hubungan seksual. 

Dampak yang sering muncul akibat tidak adanya hak istri untuk menolak adalah munculnya kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, yang banyak dilakukan dengan menggunakan agama sebagai sumber legitimasi. Kekerasan terhadap perempuan (istri) meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan sosial budaya.


Hubungan Seksual Suami Istri dalam Perspektif Normatif

Islam memandang persoalan seks dalam kehidupan berumah tangga sebagai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik antara suami dan istri. Al-Qur'an sendiri mengusung masalah seks ini dengan gambaran yang sangat menarik, bahwa suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami dalam QS. Al-Baqarah ayat 187. Ini adalah gambaran mubadalah, karena seks dianggap seperti pakaian yang saling menutupi kebutuhan dan menghangatkan, oleh karena itu, masing-masing pihak antara suami dan istri wajib melayani dan berhak mendapatkan pelayanan dari yang lain.

Gambaran ini sesuai dengan karakter akad nikah sebagai kemitraan bersama (musyārakah) antara suami dan istri, dan sejalan dengan rukun nikah yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, salah satu pihak tidak dapat dianggap sebagai pihak yang paling berhak dalam hal seks, dan pihak lain berkewajiban untuk selalu melayani, kapan pun dan di mana pun. Sebaliknya, keduanya harus berpikir untuk saling melengkapi, dan memiliki hak untuk dipenuhi dalam hubungan kemitraan dan kesetaraan.
Dorongan seksual harus disalurkan dengan cara yang suci, sehat, manusiawi dan bertanggung jawab. Meskipun dorongan seksual adalah sesuatu yang alamiah, namun Islam tidak mengizinkan pemenuhannya tanpa aturan. Dorongan tersebut harus disalurkan dalam pernikahan, bukan dengan cara melacurkan diri dan memiliki istri simpanan.

Agar misi manusia untuk memakmurkan bumi dalam pengabdian kepada Allah tidak putus, maka setara dengan hikmah ilâhiyyah manusia dibekali dengan gharîzah fitriyyah (naluri) di mana lawan jenisnya saling membutuhkan satu sama yang lain, untuk memberikan rasa kasih sayang sekaligus saling penyaluran kebutuhan biologis. Hal ini sengaja diatur dan dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa agar keberlangsungan hidup dan kehidupan generasi manusia tidak putus atau punah hingga tiba saatnya sang pencipta alam semesta ini menghendaki berakhirnya segala kehidupan.

Ada beberapa ayat dan Hadits yang sering dijadikan dalil untuk melegitimasi kesewenang-wenangan kaum laki-laki dalam menuntut hak-hak seksualnya. Diantaranya seperti dalam Q.s. Al-Baqarah: 223. Ayat ini sering dijadikan dasar untuk melegitimasi otoritas seksual laki-laki, padahal motif seperti itu telah melenceng jauh dari konteks dan asbâb al-nuzûl. Diriwayatkan oleh Imâm al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, dan al-Tirmidhî yang bersumber dari Jâbir, bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa jika mereka menggauli istrinya dari belakang hingga farjinya, maka anak-anak mereka akan terlahir juling.

Kemudian turunlah ayat tersebut. 

Dalam riwayat lain dari Imâm Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Abbâs, diriwayatkan bahwa Umar mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, celakalah aku!”. Nabi bertanya, “Apa yang telah menyebabkan kamu celaka?”. Dia menjawab, “Aku telah memindahkan sukdufku tadi malam (berhubungan intim dengan istriku dari belakang).” Nabi terdiam dan turunlah QS. Al-Baqarah (2): 223. Kemudian beliau bersabda: “Lakukanlah dari depan dan dari belakang, namun hindarilah anus dan wanita yang sedang haid.”

Banyak sekali Hadis yang beredar di masyarakat tanpa dikritisi keabsahan dan keshahihannya, baik dari segi sanad maupun matan. Misalnya, Hadis Abû Hurayrah yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim yang artinya, “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur dan istrinya menolak, maka para malaikat melaknatnya hingga waktu subuh” seperti yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, perempuan sering dipaksa untuk melayani hasrat laki-laki atas nama agama.

Dalam Islam, Al-Quran menggambarkan hubungan seksual sebagai salah satu kesenangan dan kenikmatan Tuhan. Kenikmatan dan dorongan seksual bukan hanya hak laki-laki tetapi juga hak perempuan, sebagaimana firman Allah swt. yang berbunyi, “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.

Meskipun seks identik dengan sensasi, kelezatan, alat kelamin, dan nafsu, namun manusia tidak boleh melakukan hubungan seksual secara bebas tanpa aturan seperti yang dilakukan oleh binatang. Nabi bersabda, “Janganlah salah satu dari kalian berhubungan dengan istri seperti binatang, dan harus ada pasangan yang sah”. Dikatakan, “Apakah penghubung itu, wahai Rasul?”, “Itu adalah ciuman dan cumbu rayu.”

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan bagaimana seharusnya hubungan seksual dilakukan. Perintah untuk mengutamakan hubungan seksual dengan ciuman dan rayuan tidak lain adalah mengkondisikan kesiapan kedua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual baik secara fisik maupun psikis, agar tidak ada yang merasa dipaksakan atau dirugikan.

Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan bahwa hubungan seksual dilakukan dengan mengucapkan kalimat Allah, Bismillahirrahmanirahim, karena kenikmatan dan kelezatan hubungan seksual merupakan anugerah Allah yang sangat luar biasa. Nabi. berkata: "Takutlah kepada Allah terhadap wanita atau istri, karena istri seperti tawanan perang dalam kekuasaanmu. Kamu memilikinya dengan amanat Allah, dan kamu mensahkan alat kelamin istri dengan firman Allah.
Penyebutan nama "Allah" sebelum melakukan berhubungan badan adalah bukti bahwa hubungan seksual yang halal dan bertanggung jawab merupakan bentuk ibadah kepada Allah. Jika tidak dilakukan dengan pasangan yang sah, maka hubungan seksual adalah dosa besar dan Al-Qur'an menyebutnya sebagai jalan yang buruk.

Hubungan suami istri harus mencakup mu'syarah bi al-ma'rif (pergaulan yang baik). Mu'asyaroh memiliki informasi "Musyarakah Bainal Itsnaini" yang berarti kebersamaan kedua belah pihak, sedangkan ma'ruf berarti kebaikan, sehingga mu'asyaroh bil ma'ruf memiliki arti kebersamaan antara dua pihak yang dihayati atas dasar kebaikan. Dinyatakan bahwa hubungan suami istri didasarkan pada prinsip kemitraan, yang keberadaannya saling melengkapi, prinsip keadilan selalu ditegakkan dimanapun dan dalam keadaan apapun hubungan suami istri tidak hanya sebatas seks tetapi merupakan interaksi yang idealnya penuh kedewasaan, sikap dewasa terhadap pasangan, terhadap keluarga dan terhadap anak-anak, disebut dewasa ketika seseorang mampu membawa dirinya untuk berperilaku dimanapun orang tersebut berada.

Dalam bidang hubungan seksual dan kemanusiaan, mu'syarah bi al-ma'rif antara suami dan istri berarti harus saling memberi dan menerima, saling mencintai dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling menunjukkan kebencian, dan tidak melupakan hak atau kewajiban masing-masing. Sikap suami atau istri harus sama-sama aktif dalam berhubungan seks dan perempuan harus memberikan yang terbaik untuk suaminya agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Mengenai masalah hubungan seksual, pandangan mazhab fiqih Islam berbeda-beda. Mazhab Maliki, misalnya, berpandangan bahwa suami wajib berhubungan seks dengan istrinya, selama tidak ada halangan atau alasan. Artinya, ketika seorang istri menginginkan seks, sang suami wajib memenuhinya. berbeda dengan pandangan Madzhab Syafi'i. Madzhab ini menyatakan bahwa kewajiban suami untuk berhubungan seks dengan istrinya pada dasarnya hanya sekali selama mereka masih suami istri.

Kewajiban ini hanya untuk menjaga akhlak istrinya. Hal ini dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa setiap melakukan berhubungan badan adalah hak suami. Istri menurut pendapat ini disamakan dengan rumah atau tempat tinggal yang disewakan. Alasan lainnya adalah orang hanya bisa melakukan hubungan seksual jika didorong oleh nafsu. Dan, ini tidak bisa dipaksakan. Tetapi, menurut pendapat ini, suami tidak boleh memaksakan hasrat seksual istrinya, agar hubungan rumah tangga tidak bermasalah.

Mazhab Hanbali menyatakan bahwa suami harus melakukan hubungan seksual dengan istrinya setidaknya setiap empat bulan sekali, jika tidak ada alasan. Jika batasan ini dilanggar oleh suami, keduanya harus diceraikan. Mazhab ini mendasarkan pandangannya pada ketentuan hukum ila' (sumpah tidak bersetubuh dengan istri). kemudian, hubungan seksual antara suami istri harus dilakukan secara alami. Artinya, suami melakukan hubungan intim dengan istrinya melalui bagian depan (kemaluan), dan bukan bagian belakang (anus atau lubang pantat). Hadits Nabi SAW. Menyatakan "Jangan dekati istri Anda di anus, sesungguhnya Allah tidak malu untuk mengungkapkan kebenaran."(HR. Tirmidzi).

Para ulama fiqih sepakat akan hal ini. Mereka mengatakan bahwa jika permainan seks dipraktikkan dan mereka memahami larangan ini, mereka harus dihukum. Ini adalah permainan yang tidak bermoral. Faktanya, Ahmad bin Hanbal berkata: "Jika kedua orang tersebut setuju untuk melakukannya, maka mereka harus diceraikan, Jika laki-laki memaksa istrinya untuk melakukan seks anal padahal dilarang melakukannya, maka mereka harus diceraikan."

Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa hak untuk menikmati seks adalah hak laki-laki dan bukan hak perempuan. Dengan demikian, seorang pria dapat memaksa istrinya untuk melayani hasrat seksualnya jika dia menolak. Imm al-Shfi ' juga mengatakan bahwa suami memiliki hak untuk ditaati oleh istri dan diperbolehkan melakukan sesuatu yang semula dilarang sebelum menikah. Dalam surah Al-Nisa (4) ayat 34 disebutkan bahwa wanita yang baik harus menaati suaminya dan suami adalah pemimpin bagi wanita.. Selain itu, masih banyak referensi lain yang memvalidasi hak mutlak suami atas kenikmatan seksual dari istrinya. 

Superioritas laki-laki (suami) atas perempuan, tak terkecuali dalam hal persetubuhan, telah dilembagakan dan menjadi budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan umat manusia. Hal ini terutama terjadi dalam masyarakat di mana patriarki masih kuat. Jika persetubuhan merupakan hak suami maka otomatis menjadi kewajiban bagi istri.

Istri wajib melayani suaminya ketika suaminya meminta mereka untuk berhubungan seks. Kewajiban istri untuk mengabdi pada kebutuhan seksual suaminya ditujukan kepada istri yang tidak memiliki alasan untuk menolak, tidak ada alasan, tidak dalam keadaan menjalankan kewajiban, dan tidak di bawah ancaman dari suaminya yang dapat merugikan dirinya.

Imm al-Tabr menyatakan bahwa memang seorang wanita (istri) belum menggenapi hak-hak Allah Swt. sampai dia memenuhi hak suaminya (kewajiban istri terhadap suaminya) sepenuhnya. Jika suami meminta untuk dilayani olehnya di kendaraan maka istri tidak boleh menolak.

Ibrahim Hosen dalam buku Falsafah Hukum Islam menjelaskan bahwa perumpamaan perempuan sebagai ladang / ladang menggambarkan betapa besar dan mulianya kedudukan perempuan karena disamakan dengan ladang / ladang produktif sebagai unsur kemakmuran bagi manusia. Manusia berasal dari tanah dan diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas mensejahterakan dunia dengan memanfaatkan segala sesuatu yang terdapat di bumi, baik di darat maupun di laut bahkan hingga ke luar angkasa. Penciptaan manusia saat ini tidak sama dengan penciptaan Adam As.

Allah SWT menciptakan manusia melalui perkawinan dan reproduksi manusia melalui rahim wanita, yang Allah samakan dengan sebuah ladang. Jadi Q. s. Al-Baqarah: 223 intinya melihat pentingnya kedudukan perempuan dalam menyejahterakan dunia sesuai dengan tujuan penciptaannya.

Pendapat Ibrahim Hosen lebih sejalan dengan tujuan syariat Islam, yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan. Al-Qur'an mengamati budaya Arab sebelum munculnya Islam yang tidak menghormati perempuan dan mengabaikan hak-hak pribadinya, terutama dalam hubungan seksual antara suami dan istri. Ketimpangan hubungan seksual dalam keluarga akan mengakibatkan hal-hal yang sangat menyusahkan bagi perempuan.


Hubungan Seksual antara Suami dan Istri dari Perspektif Sosiologis

Seksualitas adalah konsep nilai, orientasi, dan perilaku yang dikonstruksi secara sosial yang berkaitan dengan seks. Namun, memahami seks berarti memahami pribadi secara keseluruhan serta memahami masyarakat, budaya, dan juga memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam masyarakat.

Kehidupan bermasyarakat dalam hubungan seksual memiliki dua fungsi, yaitu rekreasi dan pro-kreasi. Fungsi rekreasional terdiri dari pemenuhan kebutuhan seksual, menikmati hubungan seksual, waktu, dan cara melakukan hubungan seksual. Sedangkan fungsi prokreasi adalah fungsi regenerasi manusia dari waktu ke waktu. Dimensi budaya adalah bagaimana aktivitas seksual menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat. Istilah persetubuhan berarti persetubuhan sebagai salah satu bentuk aktivitas untuk menyalurkan dorongan seksual. Budaya menuntut perempuan untuk lebih tertutup dibandingkan laki-laki dalam hubungan seksual. Hal ini karena perempuan tidak memperhatikan hak kesehatan reproduksinya dan hubungan seksual dilakukan sebagai kewajiban.

Ada konteks sosiologis hukum Islam bahwa suami istri dalam kehidupan seks menjadi pasangan biologis dalam kehidupan pernikahan. Manusia tidak dapat menyangkal kegiatan reproduktif sebagai salah satu bentuk kebutuhan biologisnya. Dalam hal ini, Allah swt. telah menganugerahkan kenikmatan agar manusia (suami istri) bersenang-senang melakukannya demi melanjutkan dan memelihara generasi manusia di muka bumi ini. Misalnya, seorang istri secara biologis memiliki rahim untuk hamil, oleh karena itu istri memiliki peran biologis untuk membawa benih suaminya.

Ancaman kehamilan dan kelahiran tanpa batas dengan sedikit atau tanpa perawatan kesehatan yang memadai membuat banyak wanita Muslim takut akan seks. Pandangan sebagian atau mayoritas masyarakat Muslim bahwa perempuan harus selalu memenuhi permintaan suaminya sebagai kewajiban terlepas dari keinginan mereka sendiri telah menjadikan persetubuhan sebagai tindakan mekanis yang menyebabkan baik laki-laki maupun perempuan tidak mengalami kepuasan seksual.

Uraian di atas menunjukkan bahwa budaya telah membentuk perempuan (istri) untuk hanya menerima dan mengabdi pada kehendak dan keinginan suaminya dalam melakukan hubungan seksual. Lebih buruk lagi adalah keyakinan yang melekat bahwa Islam mengarahkan wanita untuk melayani kebutuhan seksual suaminya kapan saja dan di mana saja tanpa mempertimbangkan kesehatan dan kenyamanan mereka sendiri. Kekerasan terhadap perempuan (istri) meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan sosial budaya. Menurut Nasaruddin Umar, selama ini agama tidak hanya dijadikan dalil untuk melanggengkan konsep patriarki, tetapi juga sebagai dasar legitimasi kekerasan terhadap perempuan.

Banyak tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat juga masih bias gender. Misalnya, eksistensi dan peran perempuan berulang kali didefinisikan sebagai ciptaan kedua dan jenis kelamin kedua, yaitu substansi eksistensi perempuan adalah subordinasi tulang rusuk Adam yang diciptakan untuk memenuhi keinginan laki-laki.

Beban budaya juga menambah hegemoni patriarki atas perempuan. Dalam antropologi Jawa, perempuan hanyalah teman punggung, mummer, seks kedua atau dalam bahasa teologis lainnya, istri disamakan dengan suwargo nunut, neroko katut, artinya mereka hanya masuk surga dan masuk neraka.


Hubungan Seksual antara Suami dan Istri dari Perspektif Psikologis

Seksualitas sangat erat kaitannya dengan faktor psikologis, yaitu emosi, pandangan dan kepribadian yang berkolaborasi dengan faktor sosial. Musdah Mulia menekankan bahwa seksualitas berkaitan dengan banyak hal karena mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap sosial, serta terkait erat dengan perilaku dan orientasi seksual yang terbentuk dalam masyarakat di mana seseorang menjadi bagiannya. Seksualitas manusia dan hubungan di antara mereka tidak hanya mencakup ketertarikan, nafsu, hasrat, nafsu, misteri, dan fantasi, tetapi juga selalu dipandang dengan kecurigaan, kebingungan, ketakutan, dan bahkan jijik.

Seks adalah cara komunikasi terdalam antara suami dan istri. Melalui seks mereka dapat mengungkapkan kasih sayang mereka satu sama lain. Namun seringkali wanita meremehkan masalah seks. Mereka mengira pria hanya menginginkan seks. Sedangkan wanita lebih menyukai keintiman. Pria dan wanita memiliki perbedaan seksual di mana pria hanya bisa mencintai ketika kebutuhan seksualnya terpenuhi. Tidak seperti wanita, mereka mengharapkan kebutuhan emosional mereka terpenuhi terlebih dahulu dan kemudian mereka dapat merasakan kebutuhan akan seks.

Pria sering kali tidak memahami kebutuhan wanita akan keintiman dan menganggap dia menutupi keinginannya untuk berhubungan seks. Hal ini sering menimbulkan pertengkaran dalam keluarga. Ketika seorang pria menginginkan seks dan seorang wanita sedang tidak mood untuk itu, dia kemudian salah paham dan merasa ditolak. Seorang pria yang merasa ditolak akan menghindari istrinya. Di sisi lain, sang istri merasa tidak dicintai lagi oleh suaminya karena tidak lagi akrab dengannya.

Struktur teoritis komprehensif Maslow dibangun di atas fondasi hierarki kebutuhan lain, Maslow membagi hierarki kebutuhan menjadi lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan, kebutuhan kepemilikan dan cinta, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. 

Setelah kebutuhan jasmani dan rasa aman terpenuhi, manusia akan mengarah pada pencarian cinta orang lain agar dapat dipahami dan dipahami oleh orang lain. Jadi, kebutuhan kasih sayang tidak sama dengan kebutuhan akan hubungan biologis. Sebaliknya, Maslow menekankan, kebutuhan akan seks sebenarnya dikategorikan sebagai kebutuhan fisik. Kebutuhan akan cinta ini menegaskan bahwa dalam hidup, manusia tidak bisa jauh dari orang lain. Lima hierarki kebutuhan adalah struktur kunci Maslow dalam mendefinisikan manusia.

Hubungan seksual adalah masalah yang agak rumit dalam sebuah pernikahan. Hubungan seksual bisa menjadi sumber kebahagiaan atau sumber malapetaka yang bisa menyebabkan pernikahan goyah hingga bercerai. Oleh karena itu, pasangan yang berpengalaman biasanya tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan dari hubungan seksual, tetapi juga dapat menemukan apa yang terbaik untuk dirinya dan pasangannya.

Peran komunikasi dalam pernikahan sangat meyakinkan dalam keharmonisan hubungan mesra antara suami dan istri, terutama dalam hal ini hubungan seksual. Komunikasi yang baik merupakan landasan utama yang mengarah pada saling pengertian antara suami dan istri sehingga dapat diperoleh kepuasan seksual. Kesulitan atau ketidakpuasan dalam hubungan seksual biasanya menjadi penyebab konflik yang dialami oleh pasangan suami istri sebagai akibat dari kurangnya komunikasi antara suami dan istri, sehingga ketidakpuasan dalam hubungan seksual akan semakin memperparah hubungan yang kurang harmonis antara suami dan istri. Banyak masalah seksual setidaknya sebagian disebabkan oleh pasangan yang kurang mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dalam hal ini biasanya di pihak istri.

Mereka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan haknya sendiri, karena mereka selalu menekan perasaan, keinginan, kebutuhannya, dan merasa malu untuk mengungkapkan ketidakpuasannya kepada suaminya. Komunikasi tentang seks dianggap tabu untuk dibicarakan, karena sebagian masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur yang menganggap bahwa seks adalah sesuatu yang tidak perlu dibicarakan terutama oleh perempuan, dan juga menganggap perempuan hanya sebagai objek seksual, akibatnya perempuan tidak memiliki hak untuk menikmati seks yang sebenarnya dan hanya bisa melayani suaminya untuk mendapatkan kepuasan tanpa memperhatikan kepuasan yang dialami oleh istrinya.

Bahkan seringkali muncul pertanyaan di hati mereka, apakah mereka telah memberikan kepuasan kepada suami mereka dari hubungan seksual atau tidak tanpa mempedulikan diri mereka sendiri apakah mereka juga merasakan kepuasan atau tidak. Tercapainya fungsi rekreasi manusia, seseorang akan terbebas dari kecemasan, kecemasan, perasaan marah, pemarah, lepas dari kepenatan, dan dapat mencapai semangat baru untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan yang lebih penting adalah menjaga kehormatan karena jauh dari perzinahan.

Baca juga:

Referensi:

SILAHKAN SHARE KE KERABAT ANDA:



About Admin

Artikel ini menguraikan pentingnya membangun dan memelihara hubungan yang harmonis antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga.

0 Comments :

Posting Komentar

Silakan berkomentar, kami sangat berterima kasih, bila Anda memberikan saran dan kritik untuk pengembangan website ini.